Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Inherensi Realitas ke Dalam Realisme Celana
Selasa, 22 April 2025 09:19 WIB
Trilogi "Celana" menghadirkan fenomena sastra yang menarik dimana realitas tidak hanya direpresentasikan melalui realisme
Celana, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
1996
Celana, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
1996
Celana, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
1996
Trilogi Celana menghadirkan fenomena sastra yang menarik dimana realitas tidak hanya direpresentasikan melalui realisme, tetapi justru menjadi inherent—tertanam secara organik—dalam konstruksi puitis. Hal ini menciptakan dimensi realisme yang lebih kompleks dibandingkan sekadar penggambaran faktual dunia eksternal.
Pada lapisan pertama, objek celana hadir sebagai entitas material konkret yang familiar dalam keseharian. Namun berbeda dengan realisme konvensional yang menggunakan detail objektif untuk menciptakan ilusi kenyataan, penyair justru menggunakan celana sebagai titik awal perjalanan ke dimensi realitas yang lebih dalam. Celana tidak lagi sekadar pakaian, melainkan wadah yang menampung berbagai lapisan eksistensi manusia—dari kegelisahan konsumerisme, trauma pendidikan, hingga kecemasan seksual.
Inherensi realitas dalam trilogi ini juga terlihat dari bagaimana penyair menggabungkan kenyataan fisik dengan kenyataan psikologis tanpa batas yang jelas. Tokoh yang "ngacir tanpa celana" menuju kuburan ibunya dalam Celana 1 menunjukkan bagaimana realitas fisik (ketiadaan celana) dan realitas psikologis (kerinduan akan perlindungan maternal) saling menembus. Kenyataan tidak lagi berada di luar teks sebagai objek representasi, tetapi menjadi bagian integral dari aliran kesadaran tokoh.
Dalam Celana 2, inherensi realitas semakin kompleks dengan dihadirkannya berbagai lapisan waktu secara simultan—masa kanak-kanak ("ketika sekolah"), kedewasaan ("kami pun tumbuh"), hingga masa tua ("setelah loyo dan jompo"). Waktu tidak lagi linear sebagaimana dalam realisme tradisional, melainkan hadir sebagai kontinuum dimana masa lalu dan masa kini saling mengintervensi. Kritik terhadap sistem pendidikan yang terartikulasi dalam puisi ini tidak disampaikan sebagai analisis objektif, melainkan sebagai pengalaman yang terus hidup dan berpengaruh hingga masa tua.
Metafora anatomis dalam Celana 2—"raja kecil", "filsuf tua", "gunung berapi", dan "gua garba"—menghadirkan inherensi realitas melalui peleburan antara kenyataan biologis dan mitologis. Dualitas ini tidak bersifat antagonistik, melainkan saling melengkapi untuk membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang tubuh dan identitas. Referensi pada Columbus dan Stephen Hawking semakin menegaskan bagaimana sejarah dan pengetahuan ilmiah menjadi elemen yang tidak terpisahkan dari pengalaman pribadi tentang tubuh.
Celana 3 membawa inherensi realitas ke tahap yang lebih langsung melalui konfrontasi antara citra dan substansi. Kebanggaan tokoh akan "celana asli buatan Amerika" berbenturan dengan ketidakmampuan seksualnya, menciptakan tabrakan antara realitas sosial-ekonomi (globalisasi, konsumerisme) dan realitas biologis (disfungsi ereksi). Kenyataan tidak hadir sebagai latar belakang statis, melainkan sebagai tegangan dinamis yang mengungkapkan kontradiksi dalam identitas maskulin kontemporer.
Yang menarik dari inherensi realitas dalam trilogi ini adalah bagaimana penyair menggunakan bahasa yang sederhana namun sarat makna untuk menghadirkan berbagai lapisan kenyataan secara bersamaan. Frasa "mencampakkannya", "ngacir tanpa celana", dan "burung yang dikurungnya sudah kabur" mengandung ambiguitas yang memungkinkan pembacaan simultan antara kenyataan literal dan metaforis. Bahasa tidak lagi menjadi medium transparan untuk merepresentasikan realitas, melainkan menjadi ruang dimana berbagai realitas bertemu dan bernegosiasi.
Dengan demikian, inherensi realitas dalam realisme Celana menawarkan pendekatan yang lebih holistik dalam memahami kompleksitas eksistensi manusia. Melalui objek sederhana, penyair mengajak kita melihat bagaimana realitas material, psikologis, sosial, dan eksistensial tidak terpisahkan, melainkan saling meresapi dalam pengalaman keseharian. Ini adalah bentuk realisme yang lebih radikal—bukan sekadar menggambarkan realitas, tetapi menghadirkan bagaimana realitas itu sendiri terbentuk, dialami, dan ditafsirkan dalam kesadaran manusia.
Trilogi puisi Celana menawarkan eksplorasi realisme yang kompleks dan berlapis, melampaui batasan realisme konvensional dengan membawa pembaca menembus permukaan kenyataan menuju dimensi yang lebih dalam. Melalui objek sederhana berupa celana, penyair menghadirkan kritik sosial, psikologis, dan eksistensial yang tajam tentang masyarakat kontemporer.
Dalam Celana 1 kita dihadapkan pada realisme absurd yang menggambarkan keterasingan manusia dari tubuhnya sendiri. Pencarian tokoh akan celana yang sempurna untuk "nampang di kuburan" menghadirkan ironi eksistensial—kesia-siaan mengejar kesempurnaan penampilan berhadapan dengan kefanaan hidup. Perjalanan kembali ke masa kanak-kanak melalui pertanyaan tentang "celana lucu" kepada ibu yang telah tiada menyiratkan kerinduan akan keaslian dan kemurnian yang telah hilang dalam dunia konsumerisme modern.
Celana 2 mengangkat kritik terhadap sistem pendidikan dan pembentukan karakter. Paradoks antara pendidikan "sopan" dan kenyataan tubuh manusiawi menghasilkan generasi yang terbelah secara psikologis—"anak-anak manis yang penakut dan pengecut" di permukaan, namun diam-diam "suka cabul terhadap diri sendiri". Penyair menggunakan realisme alegoris untuk menggambarkan anatomi dalam celana sebagai mikrokosmos kemanusiaan: "raja kecil yang galak", "filsuf tua", "gunung berapi", dan "gua garba". Referensi pada Columbus dan Stephen Hawking memperluas alegori ini ke dalam narasi peradaban—penemuan dan pencarian pengetahuan mungkin hanya mengarah kembali pada pemahaman atas tubuh dan diri kita sendiri.
Celana 3 melanjutkan kritik terhadap konsumerisme dan maskulinitas palsu. Kebanggaan tokoh atas "celana asli buatan Amerika" berbenturan dengan kenyataan biologis yang lebih mendasar—ketidakmampuannya untuk memenuhi ekspektasi seksual. Metafora burung yang "kabur" merepresentasikan disfungsi yang menyingkap kesenjangan antara citra diri yang diproyeksikan dan realitas intim. Puisi ini menunjukkan bagaimana fetisisme terhadap objek material (celana bermerek) tidak dapat menyembunyikan kekosongan eksistensial.
Yang menarik dari trilogi ini adalah bagaimana realisme dihadirkan melalui perpindahan dari dunia eksternal ke internal, dari permukaan ke kedalaman. Celana—objek sehari-hari yang tampak sepele—ditransformasikan menjadi medan pertempuran antara citra dan hakikat, ekspektasi sosial dan kebenaran pribadi, materialisme dan spiritualitas. Penyair menggunakan teknik narasi yang bercampur dengan elemen surrealis untuk menciptakan realisme yang lebih menyeluruh, yang tidak hanya menggambarkan kenyataan fisik tetapi juga kenyataan psikologis dan eksistensial.
Trilogi Celana dengan demikian merepresentasikan dinamika realisme yang bergerak ke dalam—dari realitas permukaan menuju realitas tersembunyi, mengajak pembaca untuk melihat objek sehari-hari sebagai jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi manusia dan masyarakat kontemporer.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler